Minggu, 19 April 2020

Sifat Bahasa yang Arbitrer alias Manasuka

Mantan KA UPTD

Sifat Bahasa yang Arbitrer alias Manasuka

Pengertian

Arbitrer dapat dimaknai dengan manasuka atau terserah bahkan bisa disebut sekenanya. Maksudnya, masing-masing bahasa (kata) terbentuk tidak berdasarkan sistem dan proses yang baku dan sama.

Proses pembentukan istilah dalam suatu bahasa ada kalanya melalui proses pengambilan dari bunyi, proses gabungan istilah sehingga melahirkan istilah baru, atau bahkan proses yang tidak diketahui prosesnya.

 Contoh

Misalnya nama hewan yang disebut Tokek
. Hewan yang mirip dengan cecak dan bersuara nyaring ini dalam tiga bahasa daerah memiliki perbedaan. Dalam bahasa Jawa disebut Tekek, dalam bahasa Madura disebut Tekok, dan dalam bahasa Sunda disebut Tokek , mungkin bahasa Indonesia menyerapnya dari bahasa Sunda. Sebenarnya,  nama hewan tersebut dalam bahasa daerah di atas berbeda namun huruf pembentuknya sama. Hal ini disebabkan karena telinga orang Jawa, Madura, dan Sunda, berbeda ketika mendengarkan suara tokek yang berbunyi. Untuk membuktikan, coba saja tirukan suara tokek dan usahakan semirip mungkin. Tiga nama tersebut (tokek, tekek, dan tekok) pasti bunyinya sama, dengan catatan: penekanan pada suku kata pertama.

Tok.... keeeek
Tek.... keeeek
Tek.... kooook

Rasakan dan bedakan, pasti kecenderungannya sama.

Nah, proses pembentukan istilah di atas adalah melalui suara yang dihasilkan. Proses pembentukan istilah yang mirip di atas adalah penamaan (pembentukan istilah) kentongan, gong, kendang, kresek, angklung. Masing-masing istilah tersebut terbentuk karena tiruan bunyi yang dihasilkan. Kresek adalah penyebutan (istilah) lain dari tas plastik. Penamaan ini berasal dari penutur Jawa. Kantong plastik disebut kresek karena bunyinya ketika dipegang kemeresek.

Ada pula istilah yang dibentuk melalui proses penggabungan kata yang kemudian menjadi istilah baru. Contoh: matahari yang dalam bahasa Ingris adalah sun dan dalam bahasa Arab disebut Samsun, mungkin bahasa Inggris menyerap bunyi bahasa Arab ya?

Istilah matahari tidak menyerap dari bahasa asing maupun bahasa daerah nusantara. Dalam bahasa Jawa matahari disebut serngenge/ srengenge. Bahasa Indonesia membentuk istilah baru dengan menggabungkan mata dan hari. Mungkin istilah tersebut dibuat karena adanya matahari hanya pada siang hari, dan dapat menyinari sehingga manusia dapat melihat dengan jelas. Bisa jadi kalau sebelumnya tidak ada istilah bulan, mungkin akan ada istilah matamalam. Ini sejalan dengan konsep manasuka atau arbitrer.

Selain dari proses tiruan bunyi benda dan gabungan kata, istilah dalam bahasa Indonesia (juga dalam bahasa-bahasa lainnya) juga dibentuk dengan sekenanya. Contoh dalam bahasa Indonesia dikenal istilah air untuk menyebut benda cair dengan lambang kimia H2O. Istilah air bukan serapan sekaligus bukan pembentukan dari tiruan bunyi.  Mengapa disebut air? tidak dapat dijelaskan asal usul kata tersebut. Sama halnya dengan bahasa lain. Misalnya kata meja dalam bahasa Indonesia, mungkin masih dapat dirunut merupakan serapan dari bahasa Jawa: Mejo. Tetapi ketika dirunut mengapa dalam bahasa Jawa disebut mejo tidak dapat dirunut dari mana asalnya dan bagaimana proses pembentukan istilahnya.  Ini juga yang disebut dengan arbitrer atau manasuka.

Ke-arbitrer-an bahasa tidak liar sepenuhnya. Konsep terserah yang terkandung dalam sebuah bahasa dibatasi dengan konsep konvensional atau kesepakatan bersama. Yang dimaksud konvensional adalah menjadi kesepakatan bersama, memiliki konsep yang sama tentang istilah tersebut. Orang jawa mengerti yang disebut banyu adalah air dalam bahasa Indonesia, sedangkan bayu adalah angin dalam bahasa Indonesia. Karena sudah sepakat maka dapat dimengerti oleh penutur dan petutur (antara yang mengucapkan dan yang mendengar). Sementara itu, antara masyarakat bahasa Inggris dan masyarakat bahasa Indonesia tidak sepakat. Contoh meskipun penulisannya sama, kedua penutur bahasa tersebut (Inggris - Indonesia) tidak saling memahami kata: air dalam bahasa masing-masing.


Silakan arbitrer dalam hidup, tetapi sebagai makhluk sosial kita juga harus mengkonvensionalkan sifat kita agar bisa diterima oleh masyarakat.